Bab 9
Pengertian
Konsumen
Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Konsumsi,
dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual
kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa
sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja
sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing
sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen
Asas dan
Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Asas
perlindungan konsumen
Berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen:
•Asas
manfaat
Maksud
asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
•Asas
keadilan
Asas
ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
•Asas
keseimbangan
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.Asas
keamanan dan keselamatan konsumen.
•Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
•Asas
kepastian hukum
Asas
ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam
UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut:
•
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
•
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
•
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
•
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
•
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
•
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak dan
Kewajiban Konsumen
Hak Konsumen
adalah:
-Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa
-Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
-Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
-Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
-Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
-Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
-Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
-Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
-Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya’
Kewajiban
konsumen adalah :
-membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
-beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
-membayar
dengan nilai tukar yang disepakati
-mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku
usaha adalah:
-hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat
tidak baik;
-hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum
sengketa konsumen;
-hak
untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban
pelaku usaha adalah :
-beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
-memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
-memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
-menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
-memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
-memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU
PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
-larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
-larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
-larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari
kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
-tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
-tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
-tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
-tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
-tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
-tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
-tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
-tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui
Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga
wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan
kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas
dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat:
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Bekas:
sudah pernah dipakai.
Tercemar:
menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak
berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda
tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan
tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu
diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Hukum
tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum
tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat
apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat
bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan
kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah
Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang
lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya
produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer
and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk
secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam
kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan
hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti
listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang
lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk
dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi
secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung
jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the
liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to
the person or property of a buyer third party, caused by product which has been
sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the
manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person
injured by the use of product
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara
hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan
dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi
tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial
tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel
dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan
usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat
sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain
(konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Sanksi
Pelaku Usaha
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Sanksi
Perdata :
•Ganti
rugi dalam bentuk :
-Pengembalian
uang atau
-Penggantian
barang atau
-Perawatan
kesehatan, dan/atau
-Pemberian
santunan
•Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
•Kurungan
:
Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar -rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e dan Pasal 18
-Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)huruf d dan f
•Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit
berat, cacat tetap atau kematian
•Hukuman
tambahan , antara lain :
-Pengumuman
keputusan Hakim
-Pencabuttan
izin usaha;
-Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
-Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
-Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Sumber:
http://aditnobaka.wordpress.com/2010/10/08/pengertian-konsumen/
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:V4cU_3d0oZQJ:abing1991.files.wordpress.com/2011/05/makalah-hukum-perlindungan-konsumen-2.docx+asas+dan+tujuan+konsumen&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESg9tFenKmI8r0bxzoxG-OcBfdlHYOS8gTiqDIHq3n1gOusADL4MpKKzK-0jE-OivkNRt2zRWbu2r6V1C0hZXy7hYE5DrXpK1FfgiD9qfrxq7LbVuO5St4pr5E4Ft31W7MRTCQSH&sig=AHIEtbSmSXGIYK81Hp9ADpo0my1IRWPnFw
http://pipp.rembangkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=63:perlindungan-konsumen&catid=3:newsflash
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tE1fvrTeSW8J:www.tunardy.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha-bagian-1/+perbuatan+yang+dilarang+bagi+pelaku+usaha&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
http://novianichsanudin.blogspot.com/2011/03/tanggung-jawab-pelaku-usaha.html
Bab 10
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pengertian
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang
Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat
(1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih
pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan
Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai
berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
Kegiatan
yang dilarang
Bagian
Pertama Monopoli Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a.
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
KeduaMonopsoni Pasal 18
(1)
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau
beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal
21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak
lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia
perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal
24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan.
Perjanjian yang dilarang
1.
Oligopoli
Adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.
Penetapan harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3.
Pembagian wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4.
Pemboikotan
Pelaku
usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.
Kartel
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
6.
Trust
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan
atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa.
7.
Oligopsoni
Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8.
Integrasi vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9.
Perjanjian tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
10.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal
yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1.
Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri dari:
(a)
Oligopoli
(b)
Penetapan harga
(c)
Pembagian wilayah
(d)
Pemboikotan
(e)
Kartel
(f)
Trust
(g)
Oligopsoni
(h)
Integrasi vertikal
(i)
Perjanjian tertutup
(j)
Perjanjian dengan pihak luar negeri
2.
Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a)
Monopoli
(b)
Monopsoni
(c)
Penguasaan pasar
(d)
Persekongkolan
3.
Posisi dominan, yang meliputi :
(a)
Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b)
Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c)
Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d)
Jabatan rangkap
(e)
Pemilikan saham
(f)
Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal
48
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal
49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; atau
b.
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan
timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana
Sumber
:
-
http://eghasyamgrint.wordpress.com/2011/05/29/pengertian-persaingan-usaha-tidak-sehat/
-
http://fikaamalia.wordpress.com
-
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/kegiatan-dan-perjanjian-yg-dilarang-anti-monopoli
-
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/
Bab 11
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Pengertian
Sengketa
adalah suatu perselisihan atau pertengkaran yang terjadi dalam suatu
mengembangkan usaha . atau sesuatu yang menyebabakan perbedaan pendapat yang
dapat menimbulkan pertengakaran baik kecil maupun besar. Contohnya
memperebutkan sesuatu seperti tanah
warisan atau lain sebagainya.
Cara – Cara Penyelesaian
Sengketa
Usaha
manusia untuk meminta maaf atas pertikaian atau konflik dalam mencapai
kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling
menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk
akomodasi antara lain genjatan sejata , arbtrasi, mediasi, konsialisasi,
staletmete.
NEGOISASI
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa dengan perjanjian antara kedua belah pihak
dimana pihak yang satu mempunyai perjanjian untuk kompromi melakukan suatu
kepentingannya dengan cara yang baik
MEDIASI
Mediasi
adalah penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan
keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan
antara Indonesia dengan Belanda.
ARBITRASE
Suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh
pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua
belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak
bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
Perbandingan
antara Perundingan Arbitrase dengan Ligitasi
Perbandingan
antara perundingan arbitrase dengan ligitasi antara lain
Arbitrase adalah
Suatu perselisihan yang langsung
dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta
ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan
berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika
pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
Ligitasi adalah
sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi
dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim.
Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi
yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan
dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi
pihak yang kalah.
sumber
:
http://id.wikipedia.org/wiki/penyelesaiankonflik
http://fahran77.wordpress.com/2011/03/31/perbandingan-antara-perundigan-arbitrase-dan-litigasi/