Kata pengantar
Puji
syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan YME, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas Karya
Ilmiah Bahasa Indonesia ini. Tidak lupa juga Saya capkan terima kasih
kepada guru bahasa Indonesia yaitu Ibu Anita W. yang telah membimbing Saya agar
dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun karya tulis ilmiah Ini.
Karya
Ilmiah Ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang kebudayaan di
Yogyakarta, yang Saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh Saya dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang
dari diri Saya maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya Karya Ilmiah ini dapat
terselesaikan.
Semoga
Karya Ilmiah Saya Dapat bermanfaat bagi semua yang membaca Karya Tulis Saya
ini, Khususnya pada diri saya sendiri, Dan Mudah mudahan Juga dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca . Walaupun Karya Ilmiah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya mohon maaf dan Terima kasih.
Penyusun
BAB
I
PENDAHULAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah salah satu negara
kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang terbentang di sekitarnya. Ini
menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan kebudayaan dari setiap suku
di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat menakjubakan karena biarpun
Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda suku bangsanya, tetapi kita
semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Jogjakarta
adalah salah satu kota di Indonesia yang terletak di pulau Jawa. Yang banyak
terdapat kebudayaan, adat istiadat yang masih melekat di kawasan ini,
jogjakarta sering di jadikan tempat untuk syuting film, liputan – luputan
stasiun televise, tempat rekreasi,dan beragam lainnya, di karenakan tempat ini
masih banyak mengandung unsur budaya.
Untuk
mendalami keanekaragaman Budaya pada Joga, maka saya membuat sebuah karya
tulis, dan untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia,
1.2 Rumusan
Masalah
Membuat
siswa agar dapat mengetahui kebudayaan – kebudayaan yang ada di jogja
1.3 Tujuan
Lebih melekatkan siswa pada budaya Indonesia, khususnya Jogjakarta
1.4 Manfaat
Siswa akan lebih menghargai dan bangga terhadap budaya bangsanya sendiri
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Upacara adat Grebeg Kraton Yogyakarta
A.
Selayang Pandang
Upacara Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara
adat yang diadakan sebagai kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi
agama Islam. Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini
pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755—1792).
Nama grebeg sendiri berasal dari
peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam istana
bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungankepada
rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti
suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg...
grebeg...grebeg...
Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada
tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg
Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg
Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton setelah
melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan Syawal.
Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar, diselenggarakan untuk merayakan Idul
Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut
sebagai bulan besar.
B.
Keistimewaan
Upacara Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit
keraton. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat sepuluh kelompok prajurit,
yakni: Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung,
Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Satu per satu, delapan kelompok
prajurit keluar dari Siti Hinggil melewati Pagelaran dan berhenti di Alun-alun
Utara dengan formasi barisan khasnya. Masing-masing kelompok menggunakan
pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata khusus, panji-panji, seraya
memainkan alat musik. Usai delapan kelompok prajurit keluar, barisan
dilanjutkan dengan keluarnya Manggala Yudha(panglima keraton). Di
akhir parade, gunungan dibawa keluar dari Siti Hinggil dengan diiringi
oleh dua kelompok prajurit sisanya.
Gunungan merupakan tumpukan
makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khas dalam setiap Upacara
Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan simbol dari
kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya.
Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing
memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda
pula. Gunungan dharat merupakan gununganyang puncaknya
berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di
sekelilingnya ditancapi dengan ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang
berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan gunungan yang
terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan
lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan
kutug/bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian
puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar
kemenyan. Gunungan lanangpada bagian puncaknya ditancapi kue dari
tepung beras yang disebut mustaka(kepala). Gunungan ini
terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan. Gunungan
wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam
kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan pawuhan merupakan
gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon,
namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
Gunungan-gunungan ini kemudian dibawa menuju Alun-alun
Utara. Saat itulah, prajurit keraton yang sudah berbaris di sana memberikan
salvo (tembakan serentak sejumlah senapan), sebagai tanda penghormatan. Usai
tanda penghormatan diberikan, dengan diiringi oleh seluruh prajurit, gunungan
dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan oleh penghulu masjid. Setelah
didoakan, gunungan diturunkan agar bisa diambil oleh pengunjung
yang sudah menantikan kedatangannya di sekitar Masjid Gedhe Kauman. Begitu diturunkan, pengunjung segera berebut untuk
mengambil makanan apapun yang disusun dalam gunungan. Mereka yang berebut
makanan ini percaya bahwa makanan yang ada dalam gunungan tersebut
dapat mendatangkan berkah dan kesejahteraan. Beberapa jenis makanan ada yang
dipercaya jika ditanam di sawah ataupun di kebun dapat menyuburkan tanah,
sehingga hasil panennya akan baik.
C.
Lokasi
Keseluruhan Upacara Grebeg diadakan di tiga tempat
berbeda, namun letaknya berdekatan. Upacara berawal di Pagelaran Keraton
Yogyakarta, kemudian berjalan melewati Alun-alun Utara, dan berakhir di Masjid
Gedhe Kauman. Semuanya terletak di Kota Yogyakarta, Provinsi DIY, Indonesia
D.
Akses
Untuk sampai ke keraton, Anda dapat menggunakan bus Trans
Jogja trayek 1B, 2A, 2B, dan 3A dari halte-halte terdekat dan membayar Rp 3.000,00.
Jika menggunakan transportasi umum ini, Anda harus turun di halte Kantor Pos
Besar, kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau menggunakan
becak untuk sampai ke keraton. Jika ingin lebih nyaman dan mudah, Anda dapat
menggunakan taksi dari tempat Anda menginap hingga depan loket keraton.
E.
Harga Tiket
Untuk melihat Upacara Adat Grebeg pengunjung tidak perlu
membayar. Namun, jika pengunjung ingin masuk ke Pagelaran Keraton Yogyakarta
diwajibkan membawa undangan dengan membelinya seharga Rp 10.000,00.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar keraton terdapat tempat parkir untuk motor dan
mobil, sehingga bagi Anda yang membawa kendaraan pribadi tidak perlu merasa
khawatir. Selain itu, di luar gerbang keraton, pengunjung dapat menjumpai
berbagai macam penjual mainan tradisional, suvenir, serta makanan dan minuman.
2. Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng
Kotagede
A. Selayang Pandang
Kawasan Kotagede tidak hanya menyimpan pesona sejarah
Kerajaan Mataram Islam, masyarakatnya juga memiliki tradisi budaya yang menjadi
kegiatan rutin setiap tahun. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah
Ambengan Ageng Kotagede. Kegiatan budaya turun-temurun ini berupa kirab seni
budaya yang berkembang hingga sekarang.
Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng yakni arak-arakan
gunungan dengandikawal oleh abdi dalemKasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kirab ini sebagai bentuk
visualisasi bersatunya keraton dengan masyarakat serta manunggalnya ulama dan umaro.
Dengan berperan sebagai prajurit Kraton, warga Kotagede berusaha menumbuhkan
rasa rindunya terhadap budaya serta sebagai penghargaan pada Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kirab Ambengan Ageng ini terdiri dari Gunungan Kuliner
Nawu Jagang dan sudah menjadi agenda pariwisata budaya. Kegiatan ini sekaligus
menjadi upaya pelestarian nilai-nilai budaya yang adiluhung yang sudah menjadi
identitas diri di sebuah lingkungan budaya. Harapannya, event ini
mampu menjadi media untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di samping
sebagai hiburan maupun salah satu upaya untuk mempromosikan pariwisata
Yogyakarta.
B. Keistimewaan
Kegiatan seni budaya ini sudah menjadi tradisi masyarakat
Kotagede. Adanya kirab gunungan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang sedang
berkunjung ke Yogyakarta. Gunungan menggambarkan seorang raja membagikan
sedekah pada rakyatnya. Masyarakat membuat sepasang ambengan sebagai
wujud dari hasil bumi dan hasil kuliner yang dibuat semacam gunungan dan
dikirabkan. Kirab seni budaya yang diarak menuju Masjid Ageng Mataram Kotagede ini selalu
mendapat sambutan yang meriah dari warga Kotagede dan pengguna jalan yang melintas
di kawasan tersebut.
Terdapat dua gunungan yang melambangkan laki-laki dan
perempuan sekaligus sebagai simbol manusia dan alam yang diciptakan
berpasang-pasangan. Sepasang gunungan ini juga dapat diartikan sebagai penjual
dan pembeli, serta perlambangan hidup dan mati. Isi dari gunungan itu adalah
hasil bumi dan makanan tradisional yang terdiri dari kipo, banjar, yangko, roti
kembang waru, dan lainnya. Prosesi kirab budaya ini merupakan upaya untuk
melestarikan tradisi, dan sebagai bentuk ekspresi seni dan budaya semata.
Di halaman Masjid Kotagede, diadakan acara serah
terima ambengan dariPengageng Keraton yang
bertugas di Kotagede sebagai juru kunci makam, salah satunya adalah Kanjeng
Raden Tumenggung Hastana Nagoro yang berasal dari Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Ambengan diberikan kepada Lurah Jagalan kemudian
diserahkan kepada Rois Penghulu Masjid Mataram untuk didoakan dan selanjutnya
dimakan bersama-sama. Kirab ini juga diramaikan dengan jodhang (rumah
kecil) yang terdiri dari Jodhang Kraton Sala danJodhang
Kraton Ngayogyakarta.
Jodhang adalah rumah kecil, miniatur Masjid Mataram
dengan logo Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, yang kemudian
dibawa Pengageng Keraton Surakarta dan Yogyakarta bersama
iring-iringan ke dalam halaman Masjid. Jodhang kemudian
diserahterimakan dari Pengageng Keraton kepadaabdi dalem dari
Surakarta maupun Yogyakarta sebagai simbol perintah. Di serambi masjid, di
dalam jodhang itu dimaksukkan siwur (alat
mengambil air), dan dengan disertai pembacaan shalawat, para abdi dalem berjalan
ke Sendang Selirang. Di sendang, para abdi dalem mengambil air
secara simbolik dan dimasukkan ke dalam kendi yang kemudian dibawa dengan jodhang yang
dipikul.
C. Lokasi
Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede dimulai dari
Kantor Kelurahan Jagalan menuju Masjid Ageng Mataram.
D. Akses
Akses utama untuk menuju Kotagede adalah jalan yang
melintang dari sebelah barat sungai Gadjah Wong yaitu Jalan Tegal Gendu hingga
ke arah timur. Untuk menuju ke sana cukup mudah, karena banyak angkutan umum
seperti bis kota, atau Trans Jogja yang melewati Kotagede. Selain itu bisa juga
menggunakan kendaraan pribadi.
E. Harga
Untuk bisa menyaksikan tradisi budaya Ambengan Ageng
Kotagede ini, Anda tidak perlu merogoh kocek karena kegiatan ini gratis untuk
siapa saja.
F. Akomodasi dan
Fasilitas Lainnya
Kegiatan Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede
dimeriahkan juga dengan malam pentas seni seperti shalawatan, kethoprak
Mataram, wayang kulit, dan berbagai tari tradisional. Dalam kegiatan ini, Anda
akan menyaksikan berbagai macam penampilan kesenian dan budaya dari warga
Kotagede. Selain sebagai kawasan cagar budaya, Kotagede juga terkenal sebagai
sentra kerajinan perak. Oleh karena itu, kawasan ini banyak terdapat toko yang
menjual kerajinan perak dan aneka cinderamata. Tidak jauh dari Kotagede,
terdapat fasilitas penginapan, dari hotel berbintang sampai hotel kelas melati,
yang mudah diakses dari di pusat kota.
3. Jogja Java Carnval
A. Selayang Pandang
Bagi
sebuah kota, peringatan hari berdirinya daerah tersebut biasanya ditandai
dengan acara yang meriah. Berbagai kegiatan digelar guna menyemarakkan
peringatan hari jadi yang jatuh setahun sekali. Mulai dari malam tirakatan,
pagelaran seni budaya, pameran produk-produk daerah, hingga konser musik
band-band papan atas Indonesia. Begitu pula yang terjadi di Kota Yogyakarta.
Kota yang dikenal sebagai kota pelajar ini juga memiliki agenda khusus ketika
merayakan hari jadinya yang diperingati setiap tanggal 7 Oktober.
Salah
satu acara yang menjadi agenda tahunan pemerintah kota Yogyakarta ini adalah
Jogja Java Carnival. Acara ini biasanya digelar sebagai penutup sekaligus
puncak selebrasi hari jadi Kota Yogyakarta. Jogja Java Carnival sendiri
merupakan pagelaran seni budaya yang dikemas dengan konsep street carnaval atau
parade jalanan. Berbagai karakter budaya yang ada di Kota Yogyakarta, baik
budaya tradisional maupun budaya kontemporer dipadukan menjadi satu tanpa
meninggalkan akar tradisi yang sudah terpatri dalam kehidupan masyarakat
Yogyakarta.
Selain
sebagai perayaan hari jadi Kota Yogyakarta, Jogja Java Carnival juga bertujuan
untuk menarik wisatawan supaya berkunjung ke Yogyakarta. Jogja Java Carnival
menjadi kegiatan yang kreatif dan menarik karena berusaha mengemas ‘tontonan
menjadi tuntunan’, sehingga sesuai dan selaras dengan citra Yogyakarta sebagai
kota budaya.
Pemilihan
konsep karnaval sebagai puncak perayaan hari jadi Kota Yogyakarta tentu saja
diambil bukan tanpa sebab. Jika ditelusuri lebih jauh, prosesi ini mengacu pada
sejarah Kota Yogyakarta yang tidak bisa lepas dari keberadaaan Keraton
Yogyakarta.yang merupakan embrio dari kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan
Kota Yogyakarta.
Seperti
yang tercatat dalam sejarah, setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti, pada
13 Maret 1755 Sri Sultan memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta. Pada 9 Oktober 1755, dibangunlah
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Desa Pachetokan yang ada di Hutan
Beringin. Kemudian, pada 7 Oktober 1756 Sri Sultan HB I bersama keluarganya
pindah dari Keraton Ambar Ketawang menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tanggal kepindahan Sri Sultan inilah yang kemudian digunakan sebagai hari jadi
Kota Yogyakarta.
Prosesi
boyongan dari Ambar Ketawang menuju Keraton Ngayogyakarta inilah yang kemudian
menginspirasi penyelenggaraan Jogja Java Carnival. Karnaval yang selalu digelar
pada malam hari ini selain dijadikan media promosi wisata juga merupakan ajang
untuk mengukuhkan ikon Yogyakarta sebagai kota budaya.
B. Keistimewaan
Selama
ini, sebagian besar karnaval atau parade jalanan yang ada di Indonesia
dilangsungkan pada siang hari. Sebut saja Solo Batik Carnival, Jember Fashion
Carnival, atau Salatiga Carnival Center. Oleh karena itu, menjadi satu nilai
plus ketika Jogja Java Carnival dikonsep sebagai night carnival dengan
koreografi yang berpijak pada konsep street performance. Jalan yang akan
dilalui oleh peserta karnaval dan kendaraan hias yang melintas, selalu bertabur
dengan lampu warna-warni. Kesan megah dan mewah pun begitu kental terasa.
Sekitar
pukul 20.00 WIB, jalan Malioboro berubah menjadi lautan manusia dan panggung
pertunjukan berjalan. Ratusan peserta karnaval dengan kostum warna-warni mulai
turun ke jalan. Peserta karnaval biasanya terbagi menjadi beberapa kelompok
sesuai dengan tema yang diusungnya. Dalam tiap tahunnya, tema yang diusung
Jogja Java Carnival selalu berubah. Berbagai komunitas seni budaya yang ada di
Yogyakarta juga turut memeriahkan Jogja Java Carnival. Sebut saja padepokan
Bagong Kusudiarjo, kelompok Gamelan Gaul Gayam 16, sanggar tari Natya Laksitha,
mahasiswa ISI, mahasiswa UNY, dan kelompok seni lainnya. Sambil berparade,
masing-masing kelompok mempertontonkan kebolehannya sesuai dengan bidang
masing-masing.
Meskipun
bernama Jogja Java Carnival, acara ini tidak melulu menampilkan budaya
Yogyakarta saja. Ada banyak peserta yang berasal dari daerah lain, bahkan
peserta dari luar negeri. Semua itu semakin memeriahkan pagelaran budaya Jogja
Java Carnival. Sembari menunggu peserta memulai karnaval dari Taman Parkir Abu
Bakar Ali, di panggung kehormatan yang terletak di Alun-alun Utara ditampilkan
tari kreasi yang dibawakan oleh puluhan hingga ratusan orang. Khusus untuk
pertunjukan di panggung kehormatan, tidak semua penonton dapat menyaksikannya,
karena hanya tamu yang membawa undangan yang boleh masuk ke area ini.
Setelah
semua peserta karnaval sampai di Alun-alun Utara, ratusan kembang api mulai
dinyalalakan. Pesta kembang api sebagai penutup Jogja Java carnival pun
dimulai. Cahaya terang warna-warni bertaburan dan menghiasi langit malam
Yogyakarta. Masyakarat yang memadati lokasi akan menunggu hingga kembang api
terakhir padam. Setelah itu, satu persatu dari mereka beranjak pulang atau
melanjutkan menikmati malam di Yogyakarta dengan nongkrong di jantung Kota
Yogyakarta (daerah perempatan Kantor Pos Besar, Benteng Vredeburg, Alun-alun
Utara, Gedung Agung) yang dikenal dengan sebutan titik nol kilometer.
C. Lokasi
Pesta
budaya Jogja Java Carnival dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Provinsi DIY,
Indonesia. Peserta biasanya akan memulai karnaval dari Taman Parkir Abu Bakar
Ali, Jalan Malioboro, perempatan Kantor Pos Besar, dan berakhir di Alun-alun
Utara Yogyakarta.
D. Akses
Lokasi
pelaksanaan Jogja Java Carnival terletak tepat di jantung Kota Yogyakarta, oleh
karena itu akses menuju tempat dilangsungkannya karnaval tergolong mudah.
Namun, berhubung karnaval selalu dilaksanakan pada malam hari, satu-satunya
moda transportasi umum yang dapat digunakan adalah bus Transjogja. Selain itu,
wisatawan dapat naik taksi, andong, becak, atau kendaraan pribadi.
E. Harga Tiket
Untuk
dapat menikmati pagelaran Jogja Java Carnival, wisatawan tidak dipungut biaya
sepeser pun. Jogja Java Carnival biasanya dilaksanakan pada bulan Oktober,
sebagai acara pamungkas sekaligus puncak selebrasi HUT Kota Yogyakarta.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Meskipun
Jogja Java Carnival diselenggarakan pada malam hari, wisatawan yang berniat
untuk melihat karnaval ini tidak perlu terlalu memusingkan masalah akomodasi.
Sebab, lokasi penyelenggaraan kegiatan ini terletak tepat di jantung Kota
Yogyakarta. Semua fasilitas yang diperlukan wisatawan ada di kawasan tersebut.
Penginapan sederhana hingga hotel berbintang semuanya ada. Pusat perbelanjaan,
restoran, tempat ibadah, rumah sakit, bank, atm, warung internet, telefon umum,
semua akan dijumpai dengan mudah.
Wisatawan
juga tidak perlu khawatir mengenai masalah transportasi. Meski bus transjogja
hanya beroperasi hingga pukul 22.00 WIB, taksi akan mudah diperoleh di kawasan
ini. Becak dan andong juga dapat dijadikan transportasi alternatif. Jika Anda
harus bergegas menuju kota lain seusai menyaksikan karnaval, Anda bisa langsung
menuju ke Stasiun Tugu yang bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari
Malioboro.
4. Kondur Gongso
A. Selayang Pandang
Kondur dalam bahasa Jawa
berarti “kembali atau pulang” dan Gongsoberarti “gamelan”,
jadi Kondur Gongso adalah sebuah prosesi kembalinya dua
perangkat gamelan milik keraton dari Masjid Agung Kauman pada menjelang tengah
malam. Dua perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo
itu merupakan duplikat dari gamelan Demak yang merupakan kerajaan pertama yang
mewarisi tradisi perayaan Sekaten. Dulu, gamelan menjadi salah satu media untuk
menarik minat masyarakat agar mendengarkan syiar agama Islam.
Prosesi Kondur
Gongso ini didahului dengan sebar udhik-udhik di
Pagongan Utara dan Pagongan Selatan. Raja Keraton
Ngayogyakarta HadiningratSri
Sultan Hamengku Buwono X melakukan sebar udhik- udhik yang
terdiri dari beras kuning, uang logam, dan bunga. Ritual ini melambangkan kemurahan
Sultan kepada rakyat untuk memberi kemakmuran. Dalam tradisi ini, biasanya
ratusan orang sudah memadati lokasi sejak sore untuk berlomba-lomba
merayah udhik-udhik yang dipercaya bisa mendapatkan berkah,
ketenangan, dan kelancaran rejeki.
Setelah
sebar udhik-udhik dilakukan, dua perangkat gamelan pusaka
tersebut kemudian dibawa dari pagongan halaman Masjid Agung menuju Gedong Gongso
Sri Manganti Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Upacara Kondur Gongso atau
masuknya kembali gamelan ke dalam Keraton menjadi akhir dari Perayaan Sekaten
dimana sebelumnya telah dilakukan Miyos Gongso yang
kemudian kedua gamelan dibunyikan dan diperdengarkan terus-menerus selama tujuh
hari, mulai dari tanggal 5 Maulud sampai menjelang Grebeg Maulud tanggal 12
Maulud. Dalam sehari, gamelan ditabuh sebanyak tiga kali yaitu pukul
08.00-11.00, 14.00-17.00, dan 20.00-23.00, kecuali pada hari Kamis malam Jumat
sampai usai sholat Jumat.
B. Keistimewaan
Sebelum
diarak dari Masjid Agung Kauman ke dalam Keraton Ngayogyakarta, dua perangkat
gamelan tersebut, diberi sesaji seperti bungkusan makanan serta rangkaian mawar
dan melati di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan. Setelah selesai dibunyikan
dan diperdengarkan selama tujuh hari kedua gamelan kemudian diarak oleh puluhan
abdi dalem dari Bregada Jogokariyan dan Patangpuluhan.
Seperti
ketika Miyos Gongso, ribuan orang selalu berdesak-desakan untuk bisa
menyaksikan arak-arakan diusungnya dua gamelan pusaka Keraton Jogja Kyai
Kanjeng Guntur Madu dan Kyai Kanjeng Nogo Wilogo tersebut. Prosesi upacara
Kondur Gongso berlangsung sehari sebelum Upacara
Grebeg dilakukan.
Kondur Gongso ini hanya berlangsung tiap Perayaan Sekaten yang merupakan
upacara berakhirnya perayaan sekaten di alun-alun utara dalam menyambut Maulud
Nabi.
C. Lokasi
Pagongan
Utara dan Pagongan Selatan Masjid Agung Kauman hingga Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, letaknya di pusat Kota Yogyakarta.
D. Akses
Lokasi
Keraton Yogyakarta dan Masjid Agung Kauman yang terletak di pusat Kota
Yogyakarta menjadikan akses menuju kawasan ini sangat mudah dicapai. Selain
dapat menggunakan kendaraan pribadi, kawasan Keraton dan sekitarnya juga bisa
diakses sebagian besar angkutan umum di Kota Yogyakarta. Sedangkan dari
Malioboro atau Stasiun Tugu, Anda bisa langsung menuju ke arah selatan.
E. Harga Tiket
Untuk
bisa mengikuti prosesi dan upacara Kondur Gongso yakni kembalinya dua perangkat
gamelan ke dalam Keraton Ngayogyakarta, Anda tidak dipungut biaya sepeserpun.
Meskipun demikian, Anda harus tetap menyediakan dana untuk parkir kendaraan di
area yang telah disediakan di sekitar Alun-alun Utara maupun di seputaran
Masjid Agung Kauman.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Prosesi
Kondur Gongso ini hanya bisa Anda temukan setiap bulan Maulud dan mayoritas
pengikut setianya adalah para lanjut usia. Mereka berharap bisa mendapat berkah
dengan mengikuti rangkaian ritual Kondur Gongso. Dalam rangkaian
tradisi ini, pedagang kecil yang didominasi orang-orang lanjut usia, tidak mau
ketinggalan untuk menjajakan jajanan khas Sekaten seperti sirih, pecut, nasi
gurih, dan endog abang (telur merah).
5. Lampah Bisu Mubeng Beteng
A. Selayang Pandang
Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta pesona. Di kota ini, budaya
lokal dan budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni
tersendiri. Di Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk
terus hidup dan berkembang. Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih
berkembang di Yogyakarta adalah Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini
rutin dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender Jawa), sebagai ajang untuk
refleksi diri di depan Sang Pencipta.
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang
diciptakan oleh keraton, melainkan memang sudah tradisi asli masyarakat Jawa
yang berkembang sejak abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu.
Tradisi ini dikenal dengan nama muser atau munjer yang
berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksudkan adalah pusat wilayah desa,
ketika perdesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun berubah
menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa
Kerajaan Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan
mengelilingi benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah
kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada
abdi dalem keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam
membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal
inilah yang kemudian dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem
keraton dan ribuan warga turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton
Yogyakarta tanpa mengucapkan sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.
B. Keistimewaan
Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng merupakan acara yang
terbuka bagi siapa saja. Anda tak perlu mendaftar, tak perlu menggunakan
pakaian pranakanlengkap seperti abdi dalem, dan tak perlu melakukan
pantangan ini dan itu. Jika tertarik untuk bergabung, Anda cukup datang ke
Pelataran Keben Keraton pada malam 1 Sura yang merupakan tahun baru dalam
kalender Jawa dan silahkan mengikuti rombongan abdi dalem yang akan melakukan
Lampah Bisu Mubeng Beteng.
Lampah Bisu akan dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas
bunyi lonceng Kyai Brajanala yang terletak di Regol Keben berdenting sebanyak
12 kali sebagai tanda pergantian hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi
beteng baru dimulai dini hari, biasanya sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah
berduyun-duyun memadari pelataran Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada
semacam prosesi dan persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan
jalannya acara.
Setelah lonceng berbunyi, abdi dalem akan memulai jalan
kaki keluar dari Regol Keben, menuju rute yang telah ditentukan yakni mengitari
benteng. Biasanya abdi dalem akan membawa bendera dan panji-panji Keraton
Yogyakarta, teplok(lampu) dan kemenyan.
Mereka akan berada di barisan terdepan, kemudian baru diikuti oleh masyarakat.
Selama berjalan kaki mengitari benteng keraton sejauh kurang lebih 5 km,
peserta tidak boleh berbicara, makan, maupun merokok. Mereka harus berjalan
sambil berdiam diri, merefleksikan apa yang telah dilakukan pada satu tahun ke
belakang dan berdoa untuk memohon kebaikan di tahun-tahun mendatang.
Prosesi budaya ini biasanya akan berakhir di Alun-alun
Utara, kemudian kembali lagi ke Regol Keben. Setelah itu masyarakat dapat
kembali pulang ke rumahnya masing-masing secara tertib. Meski hanya berupa
jalan kaki di malam hari mengitari beteng, acara ini biasanya menyedot
perhatian banyak warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung maupun warga
yang penasaran hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini. Meski acara ini
sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman dahulu, masyarakat masih
tetap antusias untuk mengikuti ritual ini setiap tahunnya.
C. Lokasi
Peserta Lampah Bisu akan memulai berjalan kaki dari Keben
Keraton Yogyakarta, kemudian akan mengitari beteng keraton. Adapun rute yang
ditempuh adalah sebagai berikut: Keben – Jalan Rotowijayan – Jalan Kauman –
Jalan Agus Salim – Jalan Wahid Hasyim – Suryowijayan – Pojok Beteng Kulon – Jalan
Letjen MT Haryono – Jalan Mayjen Sutoyo – Pojok Beteng Wetan – Jalan Brigjen
Katamso – Jalan Ibu Ruswo – Alun-alun Utara.
D. Akses
Jalan tempat dilangsungkannya Lampah Bisu Mubeng Beteng
terletak di pusat Kota Yogyakarta sehingga mudah dijangkau. Hanya saja,
berhubung ritual ini dilaksanakan dini hari maka sudah tidak ada angkutan umum
yang beroperasi, yang ada tinggal taksi maupun becak. Bagi wisatawan yang
menginap di seputaran Malioboro dapat berjalan kaki menuju Alun-alun Utara untuk
menyaksikan upacara ini.
E. Harga Tiket
Wisatawan yang ingin melihat jalannya prosesi Lampah Bisu
Mubeng Beteng tidak akan dikenai biaya apapun, kecuali biaya parkir bagi
wisatawan yang membawa kendaraan.
F. Akomodasi dan
Fasilitas Lainnya
Wisatawan yang ingin menyaksikan ritual adat ini tak
perlu memusingkan masalah penginapan, sebab di sekitar lingkungan Kraton dan
sepanjang jalan yang menjadi rute Lampah Bisu Mubeng Beteng terdapat banyak
penginapan baik hotel berbintang maupun losmen. Jika sesuai mengikuti prosesi
ini Anda merasa lapar, maka Anda dapat mampir ke warung-warung tenda maupun
angkringan dan warung gudeg di seputaran keraton yang buka hingga dini hari.
6. Masangin
A. Selayang Pandang
Salah satu tempat nongkrong yang wajib
dikunjungi wisatawan saat berkunjung ke Kota Gudeg adalah Alun-alun Selatan
atau yang dikenal dengan nama Alun-alun Kidul (Alkid). Ruang lapang yang
terletak di belakang (selatan) Kompleks Keraton Yogyakarta ini memang telah menjadi landmark dan
keberadaanya sudah lekat di hati masyarakat Kota Yogyakarta. Saat pagi hari,
lapangan yang cukup luas ini akan dipenuhi oleh masyarakat yang berolahraga.
Mulai dari senam, jogging, hingga bersepeda. Menjelang sore hari,
giliran anak-anak dan orangtuanya yang memenuhi kawasan ini. Sedangkan saat
malam, Alkid akan dipenuhi oleh gerombolan pemuda dan remaja.
Meskipun kawasan ini hanya berupa tanah lapang dengan dua
beringin besar di tengahnya, Alkid memiliki magnet tersendiri yang menyebabkan
orang-orang datang berbondong-bondong ke kawasan ini. Salah satu magnet penarik
wisatawan tersebut adalah tradisi Masangin atau berjalan masuk di antara dua
pohon beringin yang berada tepat di tengah alun-alun. Menurut kepercayaan yang
beredar di masyarakat, barangsiapa yang berhasil berjalan melewati dua beringin
dengan mata tertutup, permohonannya
akan dikabulkan.
Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, tradisi
Masangin ini berawal dari ritual yang biasa dilakukan oleh pihak Keraton
Yogyakarta. Setiap tanggal 1 Suro (kalender Jawa) dan peringatan ulang tahun
berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pihak keraton akan mengadakan ritual Topo
Bisu atau ritual berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta
tanpa mengeluarkan suara. Setelah selesai mengelilingi benteng, maka ritual
selanjutnya adalah berjalan masuk di antara dua pohon ringin
kurung yang ada di Alun-alun Kidul dengan mata tertutup. Selain
dilakukan untuk ngalap berkah, ritual ini juga dimaksudkan
untuk memohon perlindungan supaya Keraton Yogyakarta aman dari serangan musuh.
Kala itu, masyarakat percaya bahwa di antara kedua pohon
beringin itu terdapat rajah atau tolak bala bagi musuh yang
ingin menyerbu keraton Yogyakarta. Saat prajurit Keraton Yogyakarta bisa
berjalan di antara kedua beringin tersebut, berarti dia memiliki kekuatan dan
penglihatan hati yang bersih, sehingga dia bisa menolak rajah yang ada di
pohon ringin kurung. Hal itu juga berarti bahwa dia akan mampu
menaklukkan musuh yang berusaha menyerbu Keraton Yogyakarta.
Seiring berjalannya waktu, di kalangan masyarakat terjadi
perubahan pemaknaan terhadap nilai-nilai tradisi. Ada begitu banyak nilai
tradisi dan kesakralan yang bergeser atau berubah makna. Begitu juga halnya
yang terjadi dalam kepercayaan terhadap ritual Masangin. Ritual budaya yang awalnya
sakral dan memiliki nilai filosofis ini dalam perkembangannya hanya menjadi
suatu permainan untung-untungan dan menambah suasana semarak di Alun-alun Kidul
Yogyakarta. Saat ini, setiap malam menjelang, Alun-alun Kidul akan dipenuhi
oleh masyarakat dari berbagai daerah yang mencoba peruntungan berjalan melewatiringin
kurung dengan mata tertutup.
B. Keistimewaan
Melihat jarak kedua beringin lumayan lebar, banyak
wisatawan yang berpikir bahwa mereka akan mampu melewati pohon beringin
tersebut dengan mudah. Namun, pikiran itu biasanya akan berubah saat mereka
sudah mencoba Masangin untuk pertama kalinya. Meski sejak awal berjalan posisi
Anda sudah tepat berada di depan ringin kurung, biasanya saat
hampir mendekati dua beringin Anda akan berjalan menyamping atau melenceng
menjauhi pohon tersebut. Hingga saat ini tidak diketahui apa yang menjadi
penyebab melencengnya rute yang diambil orang-orang yang melakukan Masangin.
Menurut masyarakat sekitar, tidak hanya konsentrasi saja yang diperlukan dalam
melakukan Masangin, namun juga hati yang bersih.
Anda boleh percaya boleh tidak, pada kenyataannya hanya
ada sedikit orang yang mampu berjalan melewati ringin kurung ketika pertama kali mencoba.
Rata-rata setelah mencoba lebih dari dua kali baru berhasil melewatinya. Bahkan
tak jarang ada yang tetap gagal melewati meski sudah mencoba berulang kali. Hal
inilah
yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mereka yang
belum berhasil melewatinya akan terus penasaran dan mencobanya hingga berhasil.
Saat ini, sebagian besar wisatwan yang melakukan Masangin
tidak lagi didorong keinginan untuk ngalap berkah atau mencari
peruntungan. Rata-rata mereka melakukannya hanya untuk bersenang-senang dan
mencoba pengalaman baru. Jika berhasil mereka akan merasa gembira, jika gagal
tidak menjadi masalah karena mereka bisa mencoba lagi lain waktu.
C. Lokasi
Tradisi Masangin ini dilakukan di Alun-alun Kidul (Alkid)
Yogyakarta yang terletak di sebelah selatan Kompleks Keraton Yogyakarta.
D. Akses
Bagi wisatawan
yang membawa kendaraan pribadi, ada tiga jalan utama yang dapat dilewati guna
menuju Alun-alun Kidul, lokasi dimana Masangin dilakukan. Jika Anda datang dari
arah Malioboro, Anda dapat melewati daerah bekas Pasar Burung Ngasem dan
Kompleks Istana Air Tamansari. Jika Anda datang dari arah timur, Anda bisa
masuk melewati Jalan Wijilan. Sedangkan bagi Anda yang datang dari arah
selatan, Anda bisa langsung masuk melalui Plengkung Gading.
Anda yang tidak membawa kendaraan pribadi dapat naik bus
kota jalur 5, atau bus Transjogja
jalur 3A dan 3B. Jika Anda naik bus umum, Anda dapat turun di Plengkung Gading,
kemudian disambung dengan berjalan kaki ke arah utara sekitar 5 menit. Begitu
pula dengan Anda yang naik bus Transjogja. Anda bisa turun di shelter yang ada
di Jl. Letjend MT Haryono atau Jl. Mayjend Sutoyo. Setelah itu, Anda berjalan
menuju Plengkung Gading dan berbelok ke utara. Jika Anda segan berjalan kaki,
Anda dapat naik becak.
E. Harga Tiket
Wisatawan yang ingin mencoba peruntungan dengan melakukan
Masangin tidak dikenai biaya sepeser pun. Jika wisatawan tidak membawa slayer untuk
menutup mata, di sekitar lokasi Masangin ada banyak orang yang menyewakan kain
penutup mata dengan tarif Rp 3.000,00.
F. Akomodasi
dan Fasilitas Lainnya
Tempat dilangsungkannya Masangin merupakan ruang publik
yang ramai dan menjadi salah satu tempat nongkrong favorit
warga jogja. Tidak hanya kaum muda, anak-anak dan orang dewasa pun kerap
melakukan aktivitas di daerah ini. Hal itu menjadikan Alun-alun Kidul menjadi
lahan subur bagi para pedagang untuk mencari nafkah. Ada banyak penjual makanan
dan minuman yang menggelar dagangannya di sepanjang trotoar yang ada di kawasan
ini. Mulai dari angkringan, tempura, cimol,
leker, bakwan kawi hingga wedang ronde dan wedang bajigur. Jika Anda ingin
makan makanan berat, Anda dapat mampir ke warung gudeg di Jl. Wijilan atau
singgah ke cafe yang
ada di sekitar Alun-alun Kidul.
Selain penjaja makanan dan minuman, di Alun-alun Kidul
juga terdapat tempat penyewaan sepeda tandem. Ada dua jenis
sepeda tandem yang disewakan, yakni tandem 2 dan tandem 3. Baik sepeda tandem 2
maupun tandem 3 tarif sewanya sama yakni Rp 10.000,00. Yang membedakan keduanya
adalah jumlah putarannya. Anda yang menyewa sepeda tandem 2 dapat
bersepeda empat kali
putaran mengelilingi Alkid, sedangkan sepeda tandem 3 hanya tiga kali
putaran. Bagi anak-anak yang belum bisa naik sepeda, ada mainan lain yang bisa
mereka naiki, yaitu becak mini dan odong-odong.
Lokasi Alun-alun Kidul yang berada di pusat Kota Yogyakarta
tentu saja memudahkan akses wisatawan untuk pergi kemanapun. Walau tidak
dilalui bus kota maupun bua Transjogja,
ada banyak tukang becak yang siap mengantarkan Anda pergi kemanapun. Anda juga
tidak perlu risau memikirkan masalah penginapan. Di kawasan ini ada banyak
penginapan dengan rentang harga bervariasi, mulai dari harga yang miring hingga
penginapan elit. Pusat penjualan suvenir khas Jogja pun dapat ditempuh hanya
dengan berjalan kaki.
7. Miyos Gongso
A. Selayang Pandang
Setiap
tahun, Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat selalu
menyelenggarakan perayaan Sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW (Maulid Nabi) di Alun-alun Utara. Perayaan
Pasar Malam Sekaten yang
berlangsung selama 35 hari itu dilanjutkan dengan prosesi Miyos Gongso sebagai
awal dimulainya upacara ritual dan tradisi Sekaten.
Miyos dalam bahasa Jawa
berarti “keluar” dan Gongso berarti “gamelan”, jadi Miyos
Gongso adalah sebuah prosesi dikeluarkannya dua perangkat gamelan
milik keraton ke Masjid Agung Kauman pada menjelang tengah
malam. Dua perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo
itu merupakan duplikat dari gamelan Demak yang merupakan kerajaan pertama yang
mewarisi tradisi perayaan Sekaten. Dulu, gamelan menjadi salah satu media untuk
menarik minat masyarakat agar mendengarkan syiar agama Islam.
Konon,
sejarah diadakannya Sekaten sudah ada sebelum Kesultanan Demak berdiri pada
abad ke-15. Pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit, Kadipaten Demak yang
dipimpin oleh Raden Patah, menjadi tempat musyawarah tahunan untuk para pemuka
agama Islam di Pulau Jawa atau yang dikenal sebagai Wali Sanga. Pertemuan para
wali ini berlangsung selama sepekan pada bulan Rabi’ulawal, yang diakhiri pada
tanggal 12, bersamaan dengan perayaan untuk menghormati kelahiran Nabi
Muhammad. Untuk memperkuat syiar agama Islam, pada tahun 1399 Saka, Raden Patah
bersama para wali membangun Masjid Agung di Kadipaten Demak. Masjid inilah yang
menjadi pusat tradisi musyawarah tahunan para Wali, sekaligus diadakan
keramaian untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad yang diisi dengan kegiatan
syiar Islam.
Kala
itu, rakyat Majapahit juga mewarisi tradisi keramaian tahunan. Pada masa
pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi tahunan ini selalu diramaikan dengan
diperdengarkannya Gamelan Pusaka bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang dipandang
sangat keramat dan suci. Acara keramaian yang disertai gamelan seperti ini akan
menarik perhatian rakyat untuk hadir. Oleh karena itu, agar rakyat tertarik
untuk hadir ke Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar
diperdengarkan bebunyian gamelan di halaman masjid. Sunan Kalijaga yang sangat
memahami budaya Jawa kemudian menciptakan seperangkat gamelan yang diberi nama
Kyai Sekati.
Gamelan
Kyai Sekati ditabuh dan menggema dengan irama yang indah dan membahagiakan
hati, sehingga berhasil menarik perhatian rakyat di seputar Demak. Mereka
datang berduyun-duyun dari berbagai penjuru, memadati alun-alun di muka Masjid
Agung, sementara para Wali silih berganti tampil pada mimbar di depan gapura
masjid untuk menyampaikan wejangan dan ajaran-ajaran Islam.
Pendekatan
budaya ini ternyata membuahkan hasil. Rakyat begitu terhibur di tengah alunan
gamelan, sekaligus tertarik dengan petuah-petuah Islami yang disampaikan oleh
para Wali. Kemudian, mereka yang tertarik memeluk Islam diperkenan masuk ke
serambi masjid dan setelah bersuci sesuai tata cara Islam, mereka kemudian
dibimbing mengucapkan 2 kalimat kesaksian yang disebutSyahadatain.
Kepada mereka yang telah masuk Islam, dilakukan upacara khitanan. Akhirnya,
keramaian ini kemudian resmi menjadi upacara tahunan kerajaan, dan kemudian
diberi nama Sekaten. Asal kata nama Sekaten bisa jadi berasal dari nama Gamelan
Kyai Sekati atau mungkin juga berasal dari kataSyahadatain.
B. Keistimewaan
Sebelum
diarak ke Masjid Agung Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dua perangkat
gamelan, yaitu Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo, sudah diberi sesaji
seperti bungkusan makanan serta rangkaian mawar dan melati di Bangsal Ponconiti
Keraton Yogyakarta. Kain penutup dua perangkat gamelan yang masing-masing terdiri
sembilan jenis instrumen itu dibuka pukul 16.00. Setelah disemayamkan di
Bangsal Ponconiti, kedua gamelan kemudian diarak melewati Siti Hinggil,
Pagelaran Keraton, Alun-Alun Utara hingga berakhir di Masjid Agung. Kedua
perangkat gamelan itu diarak oleh puluhan abdi dalem dari Bregada Jogokariyan
dan Patangpuluhan.
Para
abdi dalem keraton bertugas menggotong perangkat gamelan untuk dibunyikan
selama tujuh hari hingga menjelang Grebeg
Maulud di
halaman Masjid Agung. Gending yang dimainkan bernuansa Islami seperti Andong-andong,
Salatun, dan Ngajitun. Dua perangkat gamelan itu hanya
dibunyikan selama 7 hari sebelum nantinya kembali disimpan sebagai pusaka di
keraton. Kedua perangkat gamelan tersebut ditempatkan di Pagongan. Kyai Guntur
Madu diletakkan di Pagongan Kidul (selatan) dan Kyai Nogo Wilogo diletakkan di
Pagongan Lor (utara).
Setelah
kedua perangkat gamelan ini diletakkan, para niyaga atau wiyaga langsung
memainkannya, dimulai dengan Kyai Guntur Madu dan selanjutnya bergantian dengan
Kyai Nogo Wiligo setiap beberapa menit. Gamelan ini diperdengarkan
terus-menerus selama tujuh hari, mulai dari tanggal 5 Maulud sampai menjelang
Grebeg Maulud tanggal 12 Maulud. Dalam sehari, gamelan ditabuh sebanyak tiga
kali yaitu pukul 08.00-11.00, 14.00-17.00, dan 20.00-23.00, kecuali pada hari
Kamis malam Jumat sampai usai sholat Jumat.
Ritual
Sekaten memang selalu kental dengan simbolisasi. Sebelum gamelan dipindahkan ke
Masjid Agung, para kerabat keraton melakukan sebar udhik- udhik yang
berisi beras kuning, uang logam, dan bunga. Ritual ini melambangkan kemurahan
Sultan kepada rakyat untuk memberi kemakmuran. Dalam tradisi ini, biasanya
ratusan orang sudah memadati lokasi sejak sore untuk berlomba-lomba
merayah udhik-udhik yang dipercaya bisa mendapatkan berkah,
ketenangan, dan kelancaran rejeki.
C. Lokasi
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat hingga Masjid Agung Kauman, letaknya di pusat Kota
Yogyakarta.
D. Akses
Lokasi
Keraton Yogyakarta dan Masjid Agung Kauman yang terletak di pusat Kota
Yogyakarta menjadikan akses menuju kawasan ini sangat mudah dicapai. Selain
dapat menggunakan kendaraan pribadi, keraton juga bisa diakses sebagian besar
angkutan umum di Kota Yogyakarta. Sedangkan dari Malioboro atau Stasiun Tugu,
Anda bisa langsung menuju ke arah selatan.
E. Harga Tiket
Untuk
bisa mengikuti prosesi dan upacara Miyos Gongso yakni keluarnya dua perangkat
gamelan dari dalam Keraton Ngayogyakarta menuju Masjid Agung Kauman ini, Anda
tidak dipungut biaya sepeserpun. Meskipun demikian, Anda harus tetap
menyediakan dana untuk parkir kendaraan di area yang telah disediakan di
sekitar Alun-alun Utara maupun di seputaran Masjid Agung Kauman.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Prosesi
Miyos Gongso ini hanya bisa Anda temukan setiap bulan Maulud dan mayoritas
pengikut setianya adalah para lanjut usia. Mereka berharap bisa mendapat berkah
dengan mengikuti rangkaian ritual miyos gongso. Dalam rangkaian tradisi ini,
pedagang kecil yang didominasi orang-orang lanjut usia tidak mau ketinggalan
untuk menjajakan jajanan khas Sekaten seperti sirih, pecut, nasi gurih,
dan endog abang (telur merah).
8. Pasar Malam Perayaan Sekaten
A. Selayang Pandang
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) atau yang sering
disingkat dengan nama Sekaten merupakan salah satu agenda budaya yang rutin
dilaksanakan setiap tahun oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
yang jatuh pada tanggal 5 Rabiul Awal (kalender Hijriah) atau tanggal 5 bulan
Maulud (Kalender Jawa). Pada mulanya, acara ini adakan sebagai syi’ar agama
Islam oleh Sultan Hamengku Buwono I kepada masyarakat Ngayogyakarta
Hadiningrat. Namun, Sekaten saat ini lebih condong kepada pesta rakyat
dibandingkan dengan syi’ar agama.
Asal-usul istilah Sekaten sendiri berkembang dalam
beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Sekaten berasal dari kata syahadataini,
dua kalimat yang ada dalam Syahadat Islam, yakni syahadat taukhid dan syahadat
rasul. Hal ini dikaitkan dengan misi utama yang dibawa oleh Sultan HB I,
bahwa Sekaten adalah ajang syi’ar agama. Sedangkan versi lainnya adalah Sekaten
berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa
gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sukati. Gamelan ini biasa ditabuh dalam
rangkaian acara peringatan Maulid Nabi Muhhamad SAW. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (senang
hati), karena orang-orang menyambut Maulud dengan rasa syukur dan bahagia.
Sebagai ungkapan rasa syukur tersebut, Sekaten juga
diwarnai dengan adanya Pasar Malam Perayaan Sekaten di Alun-alun Utara Keraton Yogyakartaselama sebulan penuh. Pasar malam ini biasanya malah
justru lebih dikenal oleh masyarakat dan wisatawan dibandingkan dengan prosesi
Sekaten itu sendiri. PMPS merupakan perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan
seni. Dakwah Islam dilakukan di Masjid Agung Kauman, sedangkan pertunjukan seni dilangsungkan di areal pasar
malam.
PMPS biasanya dimulai satu bulan sebelum pelaksanaan
Maulud Nabi, yakni pada bulan Rajab (Kalender Hijriah). Pasar malam ini akan
berakhir sehari sebelum pelaksanaan Grebeg Maulud yang
merupakan puncak acara Sekaten. Sebagai pesta rakyat, tentu saja Sekaten akan
terbuka bagi masyarakat luas. Dari kelas pejabat hingga rakyat jelata semuanya
akan tumplek blek di acara ini. Karena itu, meski usianya
sudah lebih dari puluhan tahun, Pasar Malam Perayaan Sekaten tetap menjadi
kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas.
B. Keistimewaan
Selama satu bulan penuh, warga Yogyakarta akan dihibur
dengan adanya Pasar Malam Perayaan Sekaten. Seperti halnya pasar malam yang
biasa diadakan di kota-kota lain, Sekaten ini juga dipenuhi oleh penjual
makanan, wahana permainan, dan berbagai macam stan. Satu keistimewaan Sekaten
adalah turut sertanya stan-stan milik pemerintah daerah maupun pemerintah kota
yang masuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Stan-stan milik
pemerintah ini biasanya memamerkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayahnya.
Kadang momen ini menjadi ajang transaksi bisnis antara produsen dan penjual (reseller)
maupun pembeli.
Setiap malam, Sekaten akan dimeriahkan dengan atraksi
kesenian, mulai dari jathilan, tari-tarian, musik keroncong, hingga musik
dangdut. Tiap-tiap kabupaten/kota yang ada di DIY juga menampilkan kesenian
khas daerah masing-masing. Hal ini semakin menambah ramai suasana. Suara musik
yang berdentum kencang, jeritan orang yang sedang masuk ke Rumah Hantu, suara
kereta kelinci, suara penjual yang menjajakan dagangannya, semua saling
bersahutan dan menyatu dalam riuh rendah Sekaten. Sekaten menjadi pesta rakyat
yang benar-benar merakyat.
Bagi Anda pecinta wisata kuliner, ada berbagai makanan
unik yang wajib Anda coba, karena makanan ini sudah jarang ditemui dan biasanya
hanya muncul dalam perayaan Sekaten. Sebut saja endog abang dan
brondong beras. Selain itu ada juga sate kere yang pertusuknya
dihargai Rp 500,00. Sate ini disebut sate kere karena berbahan dasar lemak.
Anda harus menikmati sate kere dalam keadaan panas, sebab setelah dingin lemak
akan kembali membeku. Makanan lain yang juga terdapat di Sekaten adalah arum
manis, tahu petis, bolang-baling, onde-onde, tempura, kerak telur, hingga
hamburger.
Setelah puas berkeliling areal PMPS, tak ada salahnya
Anda beristirahat sejenak dan bercakap dengan penjual sekar ganten yang
banyak ditemui di halaman Masjid Agung. Sekar ganten merupakan salah satu
pelengkap yang dijual selama Sekaten, terdiri dari daun sirih, injet (kapur),
tembakau, dan bunga kantil yang dibungkus berbentuk kerucut. Banyak warga yang
masih percaya bahwa barangsiapa yang ikut merayakan hari kelahiran Muhammad SAW
sambil mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, maka mereka akan dianugerahi
awet muda. Anda bisa mendapatkan banyak cerita mengenai tradisi Sekaten dari
para penjual sekar ganten ini.
C. Lokasi
Sejak dulu, Pasar Malam Perayaan Sekaten selalu
dilaksanakan selama sebulan penuh di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.
D. Akses
Wisatawan yang ingin berkunjung ke Sekaten namun tidak
membawa kendaraan pribadi dapat naik bus umum atau bus Transjogja. Dari Stasiun
Tugu, wisatawan dapat naik becak atau andong guna mencapai tempat
dilangsungkannya Pasar Malam Sekaten. Sedangkan dari kawasan Malioboro atau Titik Nol Kilometer, Alun-alun Kidul dapat dicapai dengan berjalan kaki ke arah Selatan.
E. Harga
Tiket
Tiket masuk area Pasar Malam Sekaten sebesar Rp 2.000,00
untuk hari Senin hingga Kamis, sedangkan untuk hari Jumat hingga Minggu tiket
masuk menjadi Rp 3.000,00 (Januari, 2010). Namun, seminggu menjelang prosesi
Miyos Gongso dan Upacara Grebeg pengunjung dibebaskan masuk area Sekaten tanpa
perlu membayar tiket.
F. Akomodasi
dan Fasilitas Lainnya
Pengunjung yang datang ke Pasar Malam Sekaten akan
dihibur dengan berbagai seni pertunjukkan, baik seni tradisional maupun seni
modern. Setiap malamnya, panitia PMPS akan menampilkan pertunjukan seni yang
berbeda. Selain pertunjukan seni di Alun-alun Utara, di Masjid Agung Kauman
juga akan dilaksanakan pengajian sebagai bentuk syiar agama. PMPS juga
dilengkapi denganmedia center dan pusat informasi, pusat pengaduan
kehilangan, dan pos penjagaan keamanan. Berbagai wahana permainan baik untuk
anak-anak maupun orang dewasa juga turut meramaikan perayaan Sekaten.
9. Tari Klasik Gaya Jogjakarta
A. Selayang Pandang
Sebagai kota budaya, Yogyakarta tidak bisa terlepas dari keberadaan
seni tari yang sudah ada sejak lama. Keberadaan Tari Klasik Gaya Yogyakartayang tumbuh di lingkungan keraton
melalui waktu yang panjang dan nilai artistik yang tinggi adalah hasil karya
budaya yang tidak bisa dipisahkan dari Yogyakarta.
Secara umum, kegiatan kesenian dan kebudayaan yang
menampilkan tari-tari klasik masih ada di dua keraton di Yogyakarta (Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman). Tari-tari klasik tersebut adalah:
· Bedhaya Sang
Amurwabhumi
Tari
ini adalah salah satu jenis Tari Klasik Gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh
Sultan Hamengku Buwana X. Karya tari ini merupakan legitimasi Sri Sultan
Hamengku Buwana X kepada swargi (almarhum Sri Sultan Hamengku
Buwana IX), yang mempunyai konsep filosofis setia kepada janji, berwatak tabah,
kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial. Konsep dan ide dasar tari ini
dari Sri Sultan Hamengku Buwana X, sedangkan koreografinya adalah
K.R.T.Sasmintadipura.Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama
kali di Bangsal Kencono pada saat pengangkatan dan penganugerahan gelar
Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1990.Bedhaya
Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan penari putri dan berdurasi
dua setengahjam, dan diiringi irama dramatik yang menggambarkan kelembutan
sebagai simbolisasi yang paling hakiki karena setiap raja selalu mempunyai
ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap pengabdian kepada rakyatnya dengan
mencoba menggalang kepemimpinan yang baik melalui pola pikir mengayomi dan
mensejahterakan rakyat. Bedhaya Sang Amurwabhumi seperti juga
dengan bedhaya yang lainnya tetap sesuai dengan tradisi dan mengacu pada
patokan baku tari bedhaya.Dasar ceritanya diambil dari Serat Pararaton atau Kitab
Para Ratu Tumapel dan Majapahit. Bedhaya Sang Amurwabhumi mengambil
cerita sentral pada sang Amurwabhumi (Ken Arok) dengan Prajnaparamita (Ken
Dedes) dalam menyimbolisasikan spirit patriotisme dan filosofi kepemimpinan.
· Bedhaya Herjuna
Wiwaha.
Bedhaya
ini menceritakan proses pengangkatan KGPH Mangkubumi menjadi Sri Sultan HB X
· Bedhaya Sapta.
Sesuai
dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh tujuh orang penari. Tari Bedhaya ini
diciptakan oleh Sri Sultan HB IX yang bercerita tentang perjalanan dua orang
utusan Sultan Agung ke Batavia. Dalam perjalanan ke Batavia, kedua utusan itu
harus berjuang menghadapi berbagai rintangan hingga sampai ke tujuan.
· Bedhaya Sabda Aji.
Tari
ini dimainkan oleh sembilan orang yang bercerita tentangsabda aji raja)
atau perintah Sri Sultan HB IX kepada para empu tari untuk menyempurnakan Tari
Golek Menak. Salah satu penari dalamBedhaya Sabda Aji
adalah putri sulung Sri Sultan HB X, GKR Pembayun.
· Bedhaya Angron
Sekar.
Cerita
dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. Istri Arya
Penangsang, Angron Sekar, bermaksud balas dendam. Namun, akhirnya justru Angron
Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya. Bedhaya Angron Sekar ini
merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura.
· Beksa Golek Menak.
Tari
ini biasa juga disebut Beksan Menak karena mengandung arti
menarikan wayang Golek Menak. Tari Golek Menak merupakan salah
satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwana IX. Penciptaan Tari Golek Menak berawal dari ide sultan
setelah menyaksikan pertunjukan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh
seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Sri Sultan Hamengku Buwana IX
sangat terkesan menyaksikan pertunjukan Wayang Golek dari Kedu itu. Maka
dibenak beliau timbul ide untuk menarikan wayang golek itu di atas
pentas. Beksa Golek Menak bersumber dari cerita Menak Cina.
· Golek.
Tarian
ini menampilkan daya tarik dan keindahan seorang perempuan yang mempercantik
diri.
· Sekar Pudyastuti.
Tarian
yang merupakan tarian penyambutan khusus ini menampilkan gerakan tarian gaya
perempuan Yogyakarta yang anggun.
· Golek Retno
Adaninggar.
Ditampilkan
dengan gaya Golek Menak yang diadaptasi dari wayang golek. Tarian Solo ini
menggambarkan masa ketika putri China, Retno Adaninggar menyadari penangkapan
orang-orang yang dikasihi oleh musuhnya. Mulai dari itu dia bersiap-siap untuk
ikut ke medan pertempuran.
· Topeng Putri
Kenakawulan.
Tari
topeng ini diadaptasi dari kisah Panji pada abad ke-15 dan
menggambarkan putri Kenakawulan yang jatuh cinta kepada Carangwaspa.
· Klono Alus
Jungkungmandeya.
Tarian
ini diadaptasi dari kisah Mahabarata yang menggambarkan
Pangeran Muda Jungkungmandeya yang jatuh cinta kepada Srikandi. Tarian ini
merupakan contoh yang bagus untuk tari gaya alus.
· Klono Gagah
Dasawasisa.
Tarian
ini diadaptasi dari kisah Mahabarata yang menggambarkan Raja
Dasawasisa yang sedang mabuk cinta kepada Wara Sumbadra.
· Topeng Klono Alus.
Tari
topeng ini diadaptasi dari cerita Panji abad ke-15 yang
menggambarkan pangeran muda Gunungsari yang jatuh cinta kepada Ragil Kuning.
· Topeng Klana
Gagah.
Tari
topeng ini diadaptasi dari cerita Panji abad ke-15 yang
menggambarkan Raja Sewandana yang sedang mabuk cinta kepada Candrakirana.
· Jaka
Tarub–Nawangwulan.
Tari
bercerita tentang seorang pemuda bernama Jaka Tarub yang sedang berburu burung
di hutan dan melihat bidadari cantik turun dari khayangan hendak mandi di
danau. Dia bersembunyi dan mengintip bidadari Nawangwulan dan jatuh cinta.
Ketika Nawangwulan sedang mandi Jaka Tarub mencuri pakaiannya sehingga
Nawangwulan tidak bisa bisa kembali ke khayangan.
· Retna
Dumilah–Panembahan Senopati:
Cerita
dalam tarian ini mengisahkan peperangan Panembahan Senopati Kerajaaan Mataram
dengan Raja Madiun pada abad ke 7 di Jawa. Raja Madiun yang kalah memberikan
putrinya, Retno Dumilah, sebuah keris ampuh untuk membunuh Senopati. Ketika
Retno Dumilah menghunus kerisnya, Senopati mendekatinya dengan penuh perasaan
sehingga mematahkan kekuatan keris Retno Dumilah. Akhirnya, Retno Dumilah
menjadi istri Senopati.
· Srikandi–Larasati:
Selama
masa menjelang pernikahannya dengan Arjuna, Srikandi setuju untuk melakukan
kontes untuk membuktikan kekuatannya kepada Larasati. Larasati menantangnya dan
akhirnya terkalahkan. Namun, Srikandi tetap memaksa Larasati untuk menikah
dengan Arjuna.
· Srikandi–Suradewati.
Tari
ini bercerita tentang kecemburuan Srikandi pada Putri Suradewati. Srikandi
kemudian menantang Suradewati bertanding, dan akhirnya pertandingan itu
dimenangkan oleh Srikandi menang.
· Sirtupilaeli–Sudarawerti.
Tari
ini bercerita tentang pertarungan antara Sirtupilaeli dengan Sudaraweti sebagai
penentu siapa yang akan menikah dengan Menak Djinggo. Pada awalnya, hanyalah
pemenang pertempuran yang dapat menikah dengan Menak Djinggo. Namun, setelah
pertandingan, kedua perempuan ksatria tersebut akhirnya menjadi istri Menak
Djinggo.
· Rengganis–Widaninggar.
Tari
ini bercerita tentang Putri China Widaninggar yang hendak membalas dendam atas
kematian saudaranya yang mati dalam pertempuran memperebutkan cinta Menak
Djinggo. Tetapi Widaninggar dikalahkan oleh saudara ipar pembunuh saudaranya,
yaitu Rengganis.
· Umarmaya–Umarmadi.
Raja
Umarmadi pertama harus mengalahkan Kepala penasehat Umarmaya sebelum dia dapat
mengalahkan Menak Djinggo. Umarmadi kalah tetapi kemudian dia dan Umarmaya
berteman baik.
· Beksan
Senggana–Saksadewa.
Tarian
ini merupakan bagian dari cerita Ramayana yang disebut “Senggana Duta”. Sri
Rama memberi Senggana (Anoman), seekor monyet putih untuk mencari istri Rama,
Dewi Sinta. Senggana menemukan Sinta dan agar bertemu dengan Rahwana dia
menghancurkan Argasaka. Raksasa Saksadewa, anak Rahwana menjadi marah dan ingin
menangkap Senggana tetapi terbunuh dalam pertempuran.
· Beksan
Gathutkaca–Pregiwa.
Tari
ini menggambarkan bagian dari kisah Mahabharata. Gathutkaca mengungkapkan pada
Pregiwa bahwa dia jatuh cinta kepadanya. Pregiwa menerima cintanya dan berjanji
untuk setia sehidup semati.
· Beksan
Carangwaspa–Kenakawulan:
Cerita
ini diambil dari cerita Panji. Dewi Kenakawulan dari Manggada ingin
menguji kekuatan Raden Panji Carangwaspa. Jika dapat mengalahkannya dia akan
menjadi istrinya.
· Beksa
Umarmaya–Jayengpati:
Tarian
ini merupakan bagian dari cerita Menak Djinggo. Prabu Jayengpati Raja dari
Tunjungyaban telah mencuri pusaka “Sonsong Tunggalnaga” dari pemiliknya Wong
Agung Jayengrana. Adipati Umarmaya dari negeri Puserbumi mencoba untuk merebut
pusaka dan mengembalikan pada Wong Agung Jayengrana. Dia berhasil melakukannya
dengan mengalahkan Prabu Jayengpati Raja.
B. Keistimewaan
Sebagai pusat budaya, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat memiliki berbagai kekayaan budaya adiluhung bernilai
seni tinggi. Salah satunya adalah Tari Klasik Gaya Yogyakarta-Mataraman yang
sangat banyak macam dan jumlahnya. Tari klasik ini mulai ada saat keraton
bediri dan masih tetap eksis hingga saat ini, serta diharapkan terus berkembang
hingga seterusnya. Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki tarian
pusaka yang bersifat sakral, yaitu Bedhaya, yang merupakan induk dari semua
tari putri gaya Yogyakarta.
Tari klasik bukanlah semata-mata komposisi gerak tubuh
yang disusun menjadi satu kesatuan sajian tontonan yang utuh, namun dibalik itu
tersimpan sebuah kisah atau makna filosofis yang tinggi untuk disampaikan
sebagai sebuah pesan bagi kehidupan manusia.
C. Lokasi
Tari-tarian klasik gaya Yogyakarta-Mataraman ini, dapat
Anda nikmati di Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat dan di Pura Pakualaman pada
setiap acara penobatan maupun pagelaran yang digelar oleh kedua keraton
tersebut. Bagi Anda yang ingin melihat proses latihan para penari Tari Klasik
ini, dapat mengunjungi Bangsal Pagelaran yang terletak di bagian utara keraton
setiap hari Minggu pagi.
Sementara itu, untuk lokasi Tari Klasik dari Keraton Pakualaman,
bisa Anda nikmati di Pura Pakualaman yang berlokasi di Jl. Sultan Agung,
Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
D. Akses
Lokasi Keraton Yogyakarta yang terletak di pusat Kota
Yogyakarta menjadikan akses menuju ke keraton ini sangat mudah. Selain dapat
menggunakan kendaraan pribadi, Keraton juga bisa diakses sebagian besar
angkutan umum yang melintas di Kota Yogyakarta.
Sementara itu, Pura Pakualaman dapat diakses dari Bandara
Adisutjipto dengan menggunakan Bus Trans-Jogja (trayek 1A atau 1B) melewati
Jalan Kusumanegara dan Sultan Agung dengan membayar ongkos sekitar Rp 3.000,00.
Setelah sekitar 25 menit kemudian, wisatawan dapat turun di Halte Bus
Trans-Jogja di depan Pura Pakualaman, kemudian jalan kaki sekitar 50 meter
menuju Pura Pakualaman. Jika berangkat dari Terminal Giwangan, pewisata dapat
menggunakan bus kota jalur 4 atau jalur 12 melewati Jalan Sultan Agung,
kemudian turun di depan Pura Pakualaman dengan membayar ongkos sekitar Rp.
3.000,00 (Juli 2010).
Selain itu, jika berangkat dari Stasiun Lempuyangan,
wisatawan dapat menggunakan becak atau andong menuju Pura Pakualaman dengan
membayar ongkos sekitar Rp. 15.000,00 atau bisa juga menggunakan taksi dengan
membayar ongkos kurang lebih Rp. 20.000,00. Sementara pewisata yang berangkat
dari Stasiun Tugu dapat menggunakan becak atau andong menuju ke Pura Pakualaman
dengan membayar ongkos kurang lebih Rp. 10.000,00.
E. Harga Tiket
Tiket masuk ke bagian depan Keraton, yaitu Pagelaran dan
sekitarnya sebesar Rp. 5.000,00 sedangkan tiket masuk untuk bagian dalam
Keraton melalui Keben sebesar Rp. 7.000,00.
Sementara itu, kunjungan Anda ke Pura Pakualaman tidak
dikenai biaya sepeser pun. Istana kedua di Yogyakarta ini buka setiap hari pada
pukul 08.00 sampai pukul 17.00 WIB. Sedangkan untuk Museum Pakualaman buka pada
hari-hari tertentu, yakni Minggu, Selasa, dan Kamis, pukul 09.00 sampai pukul
13.30 WIB.
F. Akomodasi dan Fasilitas
Tempat parkir kendaraan, terdapat di sekitar Pagelaran,
sekitar Keben, dan Alun-alun Utara. Banyak terdapat kios penjual cinderamata di
sekitar Keraton. Di dalam komplek Pura Pakualaman terdapat sebuah Masjid Besar
Pakualaman yang dibangun pada masa pemerintahan Sri Paku Alam II. Selain itu,
juga ada Stasiun Radio Star FM dan kantor-kantor unit usaha yang dijalankan
oleh keluarga besar Paku Alam.
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Simpulan
Banyak
kebudayaan di Indonesia yang termasuk juga budaya di Jogjakarta, macam – macam
budaya pada jogja ialah:
a) Upacara adat Grebeg Kraton Yogyakarta
Upacara Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara
adat yang diadakan sebagai kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi
agama Islam. Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini
pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755—1792).
b) Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede
Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng yakni arak-arakan
gunungan dengan dikawal oleh abdi dalemKasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kirab ini sebagai bentuk
visualisasi bersatunya keraton dengan masyarakat serta manunggalnya ulama dan umaro.
Dengan berperan sebagai prajurit Kraton, warga Kotagede berusaha menumbuhkan
rasa rindunya terhadap budaya serta sebagai penghargaan pada Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
c) Jogja Java Caraval
Salah
satu acara yang menjadi agenda tahunan pemerintah kota Yogyakarta ini adalah
Jogja Java Carnival. Acara ini biasanya digelar sebagai penutup sekaligus
puncak selebrasi hari jadi Kota Yogyakarta. Jogja Java Carnival sendiri
merupakan pagelaran seni budaya yang dikemas dengan konsep street carnaval atau
parade jalanan. Berbagai karakter budaya yang ada di Kota Yogyakarta, baik
budaya tradisional maupun budaya kontemporer dipadukan menjadi satu tanpa
meninggalkan akar tradisi yang sudah terpatri dalam kehidupan masyarakat
Yogyakarta.
d) Kondur Gongso
Kondur dalam bahasa Jawa
berarti “kembali atau pulang” danGongso berarti “gamelan”,
jadi Kondur Gongso adalah sebuah prosesi kembalinya dua
perangkat gamelan milik keraton dari Masjid Agung Kauman pada menjelang tengah
malam. Dua perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo
itu merupakan duplikat dari gamelan Demak yang merupakan kerajaan pertama yang
mewarisi tradisi perayaan Sekaten. Dulu, gamelan menjadi salah satu media untuk
menarik minat masyarakat agar mendengarkan syiar agama Islam.
e) Lampah Bisu Mubeng Beteng
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang
diciptakan oleh keraton, melainkan memang sudah tradisi asli masyarakat Jawa
yang berkembang sejak abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu.
Tradisi ini dikenal dengan nama muser atau munjer yang
berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksudkan adalah pusat wilayah desa,
ketika perdesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun berubah
menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
f) Masangin
Meskipun kawasan ini hanya berupa tanah lapang dengan dua
beringin besar di tengahnya, Alkid memiliki magnet tersendiri yang menyebabkan
orang-orang datang berbondong-bondong ke kawasan ini. Salah satu magnet penarik
wisatawan tersebut adalah tradisi Masangin atau berjalan masuk di antara dua
pohon beringin yang berada tepat di tengah alun-alun. Menurut kepercayaan yang
beredar di masyarakat, barangsiapa yang berhasil berjalan melewati dua beringin
dengan mata tertutup, permohonannya
akan dikabulkan.
g) Miyos Gongso
Miyos dalam bahasa Jawa
berarti “keluar” dan Gongso berarti “gamelan”, jadi Miyos
Gongso adalah sebuah prosesi dikeluarkannya dua perangkat gamelan
milik keraton ke Masjid Agung Kauman pada menjelang tengah
malam. Dua perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo
itu merupakan duplikat dari gamelan Demak yang merupakan kerajaan pertama yang
mewarisi tradisi perayaan Sekaten. Dulu, gamelan menjadi salah satu media untuk
menarik minat masyarakat agar mendengarkan syiar agama Islam.
h) Pasar Malam Perayaan Sekaten
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) atau yang sering
disingkat dengan nama Sekaten merupakan salah satu agenda budaya yang rutin
dilaksanakan setiap tahun oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad
SAW yang jatuh pada tanggal 5 Rabiul Awal (kalender Hijriah) atau tanggal 5
bulan Maulud (Kalender Jawa). Pada mulanya, acara ini adakan sebagai syi’ar
agama Islam oleh Sultan Hamengku Buwono I kepada masyarakat Ngayogyakarta
Hadiningrat. Namun, Sekaten saat ini lebih condong kepada pesta rakyat
dibandingkan dengan syi’ar agama
i) Tari Klasik Gaya Jogjakarta
Sebagai kota
budaya, Yogyakarta tidak bisa terlepas dari keberadaan seni tari yang sudah ada
sejak lama. Keberadaan Tari Klasik
Gaya Yogyakarta yang tumbuh di lingkungan keraton melalui waktu
yang panjang dan nilai artistik yang tinggi adalah hasil karya budaya yang
tidak bisa dipisahkan dari Yogyakarta. Secara umum, kegiatan kesenian dan
kebudayaan yang menampilkan tari-tari klasik masih ada di dua keraton di
Yogyakarta (Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman)
3.2 Saran
Budaya
di Indonesia itu sangat lah banyak, termasuk budaya Jogjakarta yang masih
melekat hingga saaat ini, semua itu terjadi arena dukungan peerintah dan juga
rakyat yang kompak serta memerhatikan budaya dan lingkungannya, untuk embuat daerah
itu dapat menyandang gelar daerah istimewa.
Jika
kita ingin kebudayaa Indonesia masih tetap akan melekat di hati semua rakyat,
maka kita sebagai geneasi muda haruslah bersukur karena budaya di Indonesia
masih ada meskipun tidak sepenuhnya ada, sebagian sudah hilang, oleh
karena itu kita generasi muda harus tetap menjaga dan melestarikan budaya di
Indonesia.
Daftar
Pustaka
R.
Riski dan T. wibisono, 2003, Mngenal Seni dan Budaya di Indonesia,
Depok:
Penebar Swadaya
Prof.
Dr. koentjaraningrat, 2000, Manusia
dan Seni Budaya Indonesia,
Surabaya:
Djambatan
Edi
Sedyawati, 2008, Budaya
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers
www.jogjatrip.com, Jogja Carnival, http://www.jogjatrip.com/jogja-
carnival.html
-------------------------, Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede,
ageng-kota-gede.html
-------------------------, Kodur Gogso, http://www.jogjatrip.com/kodur-
gongso.html
-------------------------, Lampah Bisu MubengBeteng,
http://www.jogjatrip.com/lampah-bisu-mubeng-
beteng.html
-------------------------, Masangin, http://www.jogjatrip.com/masangin.html
-------------------------, Miyos Gongso, http://www.jogjatrip.com/miyos-
gongso.html
-------------------------, Pasar Malam perayaan Sekaten,
http://www.jogjatrip.com/pasar-malam-perayaan-
sekaten.html
------------------------, Upacara Adat Grebeg Kraton Yogjakarta,
http://www.jogjatrip.com/upacara-adat-grebeg-kraton-
yogjakarta.html
------------------------, Tari Klasik Gaya Yogyakarta,
http://www.jogjatrip.com/tariklasik-gaya-
yogyakarta.html
SUMBER : http://the-generator-vieqi.blogspot.com/2013/02/karya-tulis-ilmiah-kebudayaan-di-jogja_17.html